Sunday, June 24, 2012


isolasi Dan Inokulasi Bakteri

Isolasi bakteri adalah proses mengambil bakteri dari medium atau lingkungan asalnya dan menumbuhkannya di medium buatan sehingga diperoleh biakan yang murni. Bakteri dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya harus menggunakan prosedur aseptik. Aseptik berarti bebas dari sepsis, yaitu kondisi terkontaminasi karena mikroorganisme lain. Teknik aseptik ini sangat penting bila bekerja dengan bakteri. Beberapa alat yang digunakan untuk menjalankan prosedur ini adalah bunsen dan laminar air flow Bila tidak dijalankan dengan tepat, ada kemungkinan kontaminasi oleh miroorganisme lain sehingga akan mengganggu hasil yang diharapkan. Teknik aseptik juga melindungi laboran dari kontaminasi bakteri (Singleton dan Sainsbury, 2006).
Bakteri di alam umumnya tumbuh dalam populasi yang terdiri dari berbagai spesies. Oleh karena itu, untuk mendapatkan biakan murni, sumber bakteri harus diperlakukan dengan pengenceran agar didapat hanya 100-200 bakteri yang ditransfer ke medium, sehingga dapat tumbuh menjadi koloni yang berasal dari bakteri tunggal.
Ada beberapa metode untuk menginokulasi bakteri sesuai dengan jenis medium tujuannya. Pada medium agar tegak, dilakukan metode tusuk menggunakan jarum ose. Pada medium agar miring, dilakukan metode gores dengan menggunakan loop ose. Pada medium petridisk, dapat digunakan metode streak plate (metode gores), pour plate (metode tuang) atau spread plate (metode sebar) Setelah inokulasi, dilakukan proses inkubasi, yaitu menyimpan medium pada alat atau kontainer ada temperatur tertentu dan periode tertentu, sehingga tercipta lingkungan yang menyediakan kondisi cocok untuk pertumbuhan bakteri. 
Metode gores atau streak plate menggunakan loop ose dan menggoreskannya ke permukaan medium agar dengan pola tertentu dengan harapan pada ujung goresan, hanya sel-sel bakteri tunggal yang terlepas dari ose dan menempel ke medium. Sel-sel bakteri tunggal ini akan membentuk koloni tunggal yang kemudian dapat dipindahkan ke medium selanjutnya agar didapatkan biakan murni.
Metode tuang atau pour plate dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan mencampur suspensi bakteri dengan medium agar pada suhu 50ºC kemudian menuangkannya pada petridisk atau dengan menyemprotkan suspensi pada dasar petridisk, kemudian menuang medium agar keatasnya dan diaduk. Setelah agar mengeras, bakteri akan berada pada tempatnya masing-masing dan diharapkan bakteri tidak mengelompok sehingga terbentuk koloni tunggal.
Metode sebar atau spread plate dilakukan dengan menyemprotkan suspensi ke atas medium agar kemudian menyebarkannya secara merata dengan trigalski. Dengan ini diharapkan bakteri terpisah secara individual, kemudian dapat tumbuh menjadi koloni tunggal.
Metode pemaparan pada udara terbuka adalah metode untuk mengisolasi bakteri udara. Metode ini sangat simpel, yaitu dengan memaparkan medium pada udara terbuka, dengan harapan ada bakteri yang menempel dan kemudian akan tumbuh menjadi koloni

Sunday, June 17, 2012

poster



MAKALAH SONY EXMOR R



SONY EXMOR R







Disusun oleh:

Reza Diah Kusumawardani
A.101.15.033
1A2


AKADEMI ANALIS KESEHATAN NASIONAL
SURAKARTA


A.PENGERTIAN
Sony mencuri perhatian dunia ketika mengumumkan telah melakukan riset dalam hal teknologi sensor CMOS baru dengan kemampuan low light yang lebih baik. Sensor yang diberi nama ‘Exmor R’ ini dengan jeli menemukan penyebab mengapa sensor kurang sensitif terhadap cahaya, yaitu karena adanya pemantulan kembali cahaya yang masuk ke foto dioda oleh transistor. Lalu Sony melakukan modifikasi dengan membalik urutan komponen dalam sensor sehingga cahaya yang datang terlebih dahulu mengenai foto dioda barulah tiba di transistor.Dengan demikian tidak ada cahaya yang dipantulkan, semua terserap oleh foto dioda sehingga sensitivitas sensor lebih tinggi dan artinya noise bisa ditekan lebih rendah.
Sony menyebut teknologi tinggi itu sebagai teknologi Exmor R. Yang mana, Sony tetap menggunakan sensor CMOS untuk modul kamera ponsel terbarunya itu. Hanya saja, kemampuannya jauh lebih hebat dari sensor CMOS yang biasa digunakan kebanyakan kamera ponsel saat ini.Sehingga, sensor Exmor R yang ditawarkan Sony kali ini tak hanya bisa menghasilkan foto dengan ukuran yang lebih besar saja, tapi juga mampu menghasilkan foto dengan noise yang sangat baik meskipun digunakan dalam kondisi kurang cahaya sekalipun.






Perbedaan kerja sensor CMOS biasa dengan sensor Exmor R
Sony menyatakan kalau peningkatan Signal-to-Noise ratio dengan teknik pembalikan ini adalah sebesar 8 dB, sangat berpengaruh saat memakai ISO tinggi yang perlu sensor ekstra sensitif. Maka itu secara teori kamera dengan sensor Exmor R ini tentulah mampu memberi foto yang rendah noise di ISO tinggi (bahkan menyamai kualitas foto DSLR).





Sony DSC-WX1 (credit : DCRP)

Sony menerapkan sensor Exmor R ini pada dua kamera barunya, yaitu CyberShot DSC-WX1 dan DSC-TX1.Kami bahas salah satunya saja, yaitu DSC-WX1.Kamera ini menurut kami diatas kertas sangat revolusioner, dengan skor yang hampir sempurna. Dengan banderol harga sekitar 3,5 juta, kamera saku 10 MP ini semestinya mampu mengalahkan semua pesaingnya berkat inovasi sensor CMOS Exmor R berukuran 1/2.4 inci, lensa G dan sederet fitur kelas atas lainnya. Khusus untuk lensa Sony G ini acungan jempol untuk rentang dan bukaan maksimalnya, dimana lensa 5x zoom pada kamera ini bermula dari 24mm (f/2.4) yang sangat jarang ditemui. Sayangnya di posisi tele 120mm, bukaan maksimum amat kecil di f/5.9 saja.Lengkapnya, lensa Sony G ini punya rentang fokal 24-120mm dan rentang diafragma f/2.4-5.9 dengan dilengkpai 5 elemen aspherical.






Sony telah terus memajukan kecepatan dan kualitas gambar sensor citra CMOS, seperti "Exmor", dengan unik "Kolom-Parallel A Teknik / Konversi D" dan pengurangan kebisingan ganda, di samping keahlian imaging telah akumulasi seluruh sejarahnya CCD pembangunan. Dengan perkembangan struktur back-diterangi baru, Sony telah menyadari sensor gambar CMOS dengan sensitivitas yang lebih tinggi dan kebisingan yang lebih rendah.Selanjutnya, struktur back-diterangi juga memperluas potensi perangkat di berbagai bidang seperti kecepatan dan jangkauan dinamis dengan memungkinkan beberapa lapisan logam kabel dan fleksibilitas lebih besar dalam struktur transistor. Ke depan, Sony akan melanjutkan pengembangan sensor gambar yang menggabungkan kemudahan penggunaan miniaturisasi pixel, kualitas gambar canggih dan mutakhir.
* 1 Perbandingan antara konvensional (struktur depan diterangi) dan back-diterangi sensor gambar CMOS dengan ukuran piksel yang sama (1,75 pM)




Ada dua jenis sensor yang akan ditawarkan Sony. Yang pertama adalah sensor IMX081PQ.Sensor itu diklaim mampu menghasilkan foto beresolusi 16,41MP.Sedangkan yang kedua adalah sensor IMX105PQ, yang kabarnya mampu menghasilkan foto beresolusi 8,13MP.
Tak hanya itu, bahkan kedua sensor tersebut juga diklaim mampu merekam video berformat Full HD (1080p @30fps).









Poin Lebih:

■ Android 2.3 Gingerbread dengan prosesor 1GHz

■ Kamera 8 megapiksel autofokus dengan dukungan Exmor R

■ Layar sentuh kapasitif LED-backlit LCD dengan BRAVIA Mobile Engine support multitouch

■ WiFi, WiFi hotspot dan Jack audio 3.5 mm

■ Perekam video HD 720p

■ Desain tipis dan elegan

Poin Minus:

■ Layar terlihat relatif lebih kecil dibanding kompetitor

holiday

download disini

LIBURAN

download disini

Friday, June 15, 2012


Manfaat Terapi Air Putih Bagi Kesehatan

Manfaat minum air putih bagi kesehatan

Setiap sel dalam tubuh kita membutuhkan air untuk hidup sehat karena air dibutuhkan untuk keseimbangan proses metabolisme tubuh yang sangat tergantung pada asupan cairan kedalam tubuh. Bila jumlahnya tidak seimbang dengan pengeluaran, maka akan mengalami gangguan ataupun dehidrasi. memanfaatkan terapi air putih tidak sulit  dan tanpa efek samping namun bagi yang menjalankan terapi air putih akan sering buang air kecil /kencing.
Air merupakan komponen utama dari tubuh , rata-rata tiap orang memiliki 60% air dari berat tubuhnya. Semua sistem didalam tubuh tergantung oleh air. Sebagai contoh, air akan membilas racun dari organ vital, membawa nutrisi ke sel tubuh sehingga manfaat air putih juga dapat membantu  menjaga kelembaban bagi jaringan telinga, hidung dan tenggorokan.

Khasiat terapi air putih

  1. Menjaga keseimbangan tubuh
  2. Fakta medis menunjukkan bahwa 60% tubuh manusia terdiri dari cairan. Fungsi-fungsi cairan ini antara lain untuk proses pencernaan, penyerapan sari makanan sirkulasi darah dalam tubuh, transportasi nutrisi dan mempertahankan suhu tubuh. Jadi bisa dibayangkan bila tubuh sampai kekurangan asupan cairan.
  3. Membantu mengendalikan kalori
  4. Bagi mereka yang pernah mencoba beragam cara diet sehat pasti pernah mendengar kebiasaanminum air putih / terapi air putih sebagai cara untuk menurunkan berat badan. Air putih dapat dijadikan pengganti minuman berkalori tinggi sehingga membantu program diet.
  5. Membantu membangkitkan otot
  6. Sel-sel yang tidak mampu mempertahankan keseimbangan akan cairan dan elektrolit, akan mengakibatkan kelelahan pada otot. Ketika sel-sel otot tidak memiliki cairan yang cukup, mereka tidak akan berfungsi dengan baik dan kemampuannya berkurang
  7. Membuat kulit bercahaya
  8. Salah satu cara menjaga kelembaban kulit adalah dengan mengkonsumsi air putih. Minum cukup air tidak hanya menjaga kelembaban kulit sehingga tidak tampak kering dan kusam, namun juga dapat membantu membuang racun di dalam tubuh sehingga kulit senantiasa terjaga kesehatannya.
  9. Memelihara fungsi ginjal
  10. Cairan tubuh merupakan media yang berguna untuk mentransportasi sisa atau limbah untuk keluar dan masuk kedalam sel. Racun utama dalam tubuh adalah nitrogen urea darah, sejenis cairan yang dapat melewati ginjal untuk kemudian diproses dan diekresikan dalam bentuk urin.
    Ketika tubuh memiliki cukup cairan, urin akan mengalir bebas, jernih dan bebas bau dan sebaliknya jika kekurangan air maka konsentrasi urin, warna dan bau akan kentara karena ginjal harus menyerap cairan ekstra untuk menjalankan fungsinya. Tak heran bila minum sedikit air maka orang akan beresiko mengalami batu ginjal
  11. Mempertahankan fungsi usus
  12. Asupan cairan yang cukup akan membuat makanan yang melewati saluran cerna dapat mengalir lancar dan mencegah terjadinya konstipasi. Ketika anda tidak punya cukup cairan maka usus akan menyerap cairan dari feses untuk tetap menjaga hidrasi sehingga hal ini dapat menyebabkan gangguan buang air besar. Manfaat terapi air putih akan sangat terasa jika anda menjalankannya terutama bagi anda yang sedang bermasalah dengan masalah pencernaan

Penyebab jerawat

Apa itu jerawat ?

Jerawat merupakan masalah kulit yang hampir semua orang pernah mengalami selama hidupnya tanpa memandang usia dan jenis kelamin. bahkan menurut Kligman seorang pakar kulit yang secara khusus telah melakukan penelitan tentang jerawat berpendapat bahwa  “Tidak ada satu orang pun di dunia yang melewati masa hidupnya tanpa sebuah jerawat di kulitnya”.  Pengertian jerawat sendiri adalah suatu kondisi kulit dimana pori-pori kulit mengalami penyumbatan sehingga menimbulkan kantung nanah yang meradang. Penyumbatan ini dapat bersifat sementara ataupun menetap tergantung bagaimana seseorang dalam melakukan perawatan kulitnya
Jerawat termasuk salah satu jenis penyakit kulit yang cukup besar jumlah penderitanya, hal ini wajar mengingat penyebab jerawat sangat dekat dengan kehidupan kita misalnya karena adanya perubahan hormonal yang merangsang kelenjar minyak pada kulit, Perubahan hormonal saat menstruasi pada wanita, gaya hidup dan pola makan juga mempunyai peran atas munculnya jerawat pada kulit seseorang

Apa saja penyebab jerawat ?

Meskipun berbagai penelitian tentang jerawat telah dilakukan namun secara pasti belum diketahui apa penyebab utama munculnya jerawat dan sejauh ini para dokter dan ahli hanya  dapat mengambil kesimpulan tentang  faktor resiko dan hal-hal apa saja yang berkontribusi sebagai penyebab jerawat. Faktor hormon dan genetika memang merupakan salah satu faktor utama tapi tidak dapat mewakili semua masalah jerawat  karena faktor-faktor lain seperti obat, jenis kosmetik, masalah kebersihan dan juga lingkungan sangat memungkinkan untuk dalam pembentukan jerawat itu. berikut ini akan menjelaskan bagaimana proses terjadinya jerawat berdasarkan penyebabnya
  • Hormon atau produksi minyak berlebihan : seperti disebutkan sebelumnya jerawat terjadi karena adanya penyumbatan pori-pori kulit hal ini dapat terjadi karena adanya gangguan dari produksi minyak yang berlebihan (sebaceus gland) yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pori-pori kulit dan saluran folikel dan pada akhirnya akan membentuk tumpukan minyak atau sebum dalam pori-pori.
  • Sel-sel kulit mati merupakan faktor penyebab yang membantu terbentuknya jerawat selain karena produksi minyak yang bersumber dari hormon androgen.saat sel-sel kulit yang mati bercampur dengan tumpukan minyak akan akan semakin mempertebal tumpukan tersebut yang pada akhirnya akan muncul menjadi bintik hitam atau putih dalam bentuk jerawat maupun komedo
  • Genetika : Faktor genetik dipercaya oleh para ahli bahwa ada kecenderungan pada orang yang mudah berjerawat merupakan warisan dari turunan, meskipun pada dasarnya jerawat adalah bukan penyakit bawaan atau turunan. Penelitian lebih jauh tentang pengaruh genetika terhadap jerawat masih terus dilakukan tapi hingga saat ini ditemukan bahwa anak-anak yang mengalami jerawat dari orang tua yang berjerawat jauh lebih banyak dibandingkan anak-anak yang memiliki orang tua tidak berjerawat.
  • Faktor lain penyebab timbulnya jerawat juga dapat bersumber karena pengaruh efek samping dari obat tertentu , kosmetik dan produk-produk pembersih wajah. Dalam beberapa kasus penggunaan kosmetik, produk pembersih wajah dan obat-obatan dapat mempengaruhi struktur folikel rambut dan menyebabkan berlebihnya produksi sebum selain itu karena dapat menyebakan kulit luar menjadi kering sehingga tubuh memproduksi sebum berlebihan untuk mengimbangi kulit yang kering tersebut

Cara Memakai Jilbab Sesuai Dgn Wajah

Tidak semua model jilbab sesuai untuk semua wajah agar tidak salah memilih model. Pilih jilbab sesuai dengan bentuk wajah Anda.
Berikut ini tipsnya.
1. Tirus/Oval: untuk bentuk wajah ini merupakan bentuk ideal, memakai model jilbab apapun cocok. Mulai bergo, jilbabkonvensional (menyematkan peniti dibawah dagu) maupun jilbab dengan menyematkan jarum di sisi kiri dan kanan.
2. Wajah Bulat: bagi Anda dengan betuk wajah bulat pilih jilbab bergo dengan rongga yang pas, jangan sampai kesempitan karena hanya akan membuat wajah Anda semakin bundar. Untuk jilbab segiempat, pilih model konvensional untuk Anda.
3. Cubby: bagi Anda yang memiliki pipi cubby, hindari memencet jilbab, karena akan menonjolkan bentuk pipi Anda. Pilih bergo yang pas, jangan terlalu longgar, juga jangan terlalu ketat.
4. Untuk bentuk wajah lainnya, buat agar dengan jilbabbentuk wajah Anda menjadi lebih tirus atau oval. Hal ini bisa dibantu dengan pemakaian ciput pemantas yang menggunakan topi.

MORFIN

Morfin pertama kali diisolasi pada 1804 oleh ahli farmasi Jerman  Friedrich Wilhelm Adam Sertürner. Tapi morfin belum digunakan hingga dikembangkan hypodermic needle (1853). Morfin digunakan untuk mengurangi nyeri dan sebagai cara penyembuhan dari ketagihan alkohol dan opium.
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995).
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.
Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek utama mengikat dan mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi reseptor ini terkait dengan analgesia, sedasi, euforia, physical dependence dan respiratory depression. Morfin juga bertindak sebagai agonis reseptor κ-opioid yang terkait dengan analgesia spinal dan miosis
 
Gambar morfin(serbuk)          Gambar struktur morfin
Farmakodinamik 
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika (ADH). .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995; Omorgui, 1997).
Farmakokinetik 
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.
Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
Dosis dan sediaan
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.
Morfin diperdagangkan secara bebas dalam bentuk :
  1. Bubuk atau serbuk. Berwarna putih dan mudah larut dalam air. Dapat disalahgunakan dengan jalan menyuntikkan, merokok atau mencampur dalam minuman, adakalanya ditaburkan begitu saja pada luka-luka bekas disilet sendiri oleh para korban.
  2. Cairan Berwarna putih disimpan dalam ampul atau botol, pemakaiannya hanya dilakukan dengan jalan menyuntik.
  3. Balokan. Dibuat dalam bentuk balok-balok kecil dengan ukuran dan warna yang berbeda-beda
  4. Tablet. Dibuat dalam bentuk tablet kecil putih. Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian subkutan (dibawah kulit) atau intra muskuler, tetapi tidak diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Oleh sebab itu morfin tidak pernah tersedia dalam bentuk obat minum. Efek subyektif yang dialami oleh individu pengguna morfin antara lain merasa gembira, santai, mengantuk, dan kadang diakhiri dengan mimpi yang menyenangkan. Pengguna morfin umumnya terlihat apatis, daya konsentrasinya menurun, dan pikirannya sering terganggu pada saat tidak menggunakan morfin. Efek tersebut yang selanjutnya menyebabkan penggunanya merasa ketagihan. Disamping memberi manfaat klinis, morfin dapat memberikan resiko efek samping yang cukup beragam, antara lain efek terhadap sistema pernafasan, saluran pencernaan, dan sistema urinarius. Efek pada sistema pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian intravenosa atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat pada penderita asma, karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran pernafasan. Efek pada sistema saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi karena morfin mampu meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus. Pada sistema urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing. Efek ini timbul karena morfin mampu menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot- otot kandung kencing. Tanda- tanda pemakaian obat bervariasi menurut jenis obat, jumlah yang dipakai, dan kepribadian sipemakai serta harapannya.
Gejala kelebihan dosis : 
Pupil mata sangat kecil (pinpoint), pernafasan satu- satu dan coma (tiga gejala klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah). Gejala–gejala lepas obat : Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak (dosis sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi(kejang) dan koma, keluar airmata (lakrimasi), keluar air dari hidung(rhinorhea), berkeringat banyak, cold turkey, pupil dilatasi, tekanan darah meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh sangat meninggi), gelisah dan cemas, tremor, kadang-kadang psikosis toksik.
Diagnosis Ketergantungan Narkotika 
Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis (medik psikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan urine. Pada penyalahgunaan narkotika jenis opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis, misalnya kelainan pada organ paru-paru dan lever. Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat patologik paling sedikit satu bulan lamanya. Opioida termasuk salah satu yang sering disalahgunakan manusia. Menurut ICD 10 (International Classification Diseases), berbagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dikelompokkan dalam berbagai keadaan klinis, seperti intoksikasi akut, sindroma ketergantungan, sindroma putus zat, dan gangguan mental serta perilaku lainnya.
Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya. Keadaan putus heroin tidak begitu membahayakan. Di kalangan remaja disebut “sakau” dan untuk mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan heroin walaupun dengan cara merugikan orang lain seperti melakukan tindakan kriminal. Gejala objektif sindroma putus opioid, yaitu mual/muntah, nyeri otot lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, diare, menguap/sneezing, demam, dan insomnia. Untuk mengatasinya, diberikan simptomatik. Misalnya, untuk mengurangi rasa sakit dapat diberi analgetik, untuk menghilangkan muntah diberi antiemetik, dan sebagainya. Pengobatan sindroma putus opioid harus diikuti dengan program terapi detoksifikasi dan terapi rumatan. Kematian akibat overdosis disebabkan komplikasi medis berupa gangguan pernapasan, yaitu oedema paru akut (Banks dan Waller). Sementara, Mc Donald (1984) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika mempunyai kaitan erat dengan kematian dan disabilitas yang diakibatkan oleh kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan.
Penyalahgunaan obat- obatan sangat beragam, tetapi yang paling banyak digunakan adalah obat yang memiliki tempat aksi utama di susunan saraf pusat dan dapat menimbulkan gangguan- gangguan persepsi, perasaan, pikiran, dan tingkah laku serta pergerakan otot- otot orang ynag menggunakannya. Tujuan penyalahgunaan pada umumnya adalah untuk mendapatkan perubahan mental sesaat yang menyenangkan. Efek menenangkan sering dipergunakan untuk mengatasi kegelisahan, kekecewaan, kecemasan, dorongan- dorongan yang terlalu berlebihan oleh orang yang lemah mentalnya atau belum matang kepribadiannya. Sedangkan efek merangsang sering dipakai untuk melancarkan pergaulan, atau untuk suatu tugas, menambah gairah sex, meningkatkan daya tahan jasmani. Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :
  1. tanda- tanda pemakai obat
  2. keadaan lepas obat
  3. kelebihan dosis akut
  4. komplikasi medik ( penyulit kedoktearn )
  5. komplikasi lainnya ( sosial, legal, dsb)
DAFTAR PUSTAKA
Andra, 2006, Analgesik untuk Nyeri Kanker, http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp, diakses 10 Maret 2009
Anonim, 2008, Pemeriksaan Barang Bukti pada Kasus Pemakaian Narkoba, http://medlinux.blogspot.com/2007/11/pemeriksaan-barang-bukti-hidup-pada.html, diakses tanggal 10 Maret 2009

don,t smoking

Bulan November 2005 adalah bulan kelabu dimana aku divonis dokter terkena kanker paru-paru dan harus dilakukan pengangkatan sebagian paru kanan atasku yang ada kankernya. Kejadiannya setelah Hari Raya Idul Fitri 2005 aku merasakan badanku yang kurang sehat dan cenderung setiap hari berat badanku turun 1/4 kg sementara aku makan seperti biasa.
Dari situlah aku memeriksakan diri ke laboratorium untuk melakukan general cek up, karena sejak berhenti sebagai atlit nasional, aku belum pernah cek up lagi. Dan hasil dari cek up itulah ketahuan kalau di paru sebelah kanan atasku ada tumor sebesar 6 (enam) sentimeter. Sebelumnya aku sudah ada perasaan kalau terkena kanker paru karena aku adalah perokok berat (satu hari rata-rata bisa sampai 60 batang rokok). Saat itu aku menerima dengan tegar karena aku merasa penyakit tersebut akibat dari kebiasaanku merokok sejak remaja.
Ironis memang, sementara aku adalah seorang mantan pemain bahkan kapten tim nasional di cabang softball era tahun 1980-1990, yang seharusnya hidup tanpa tembakau/rokok. Padahal sudah gak bosan-bosannya lingkungan di sekitarku menganjurkan aku untuk berhenti merokok tetapi aku menjawab dengan sombong bahwa aku kan atlit, jadi ada alasan untuk merokok tapi sehat. Memang saat itu tidak terlihat akibat dari rokok yang katanya bila seseorang itu merokok maka dia tidak akan kuat untuk berlari jauh, atau dengan kata lain perokok napasnya jadi pendek. Itu tidak terjadi pada diriku. Dan memang aku buktikan di setiap latihan atau dalam pelatnas (pemusatan latihan nasional) kondisi badanku oke-oke aja, jadi buat aku merokok tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Kebetulan dokter yang memeriksaku setelah ada hasil dari foto rontgen adalah kakakku sendiri yang dokter spesialis paru (Dr. Menaldy Rasmin SpP(K) ). Setelah melalui pemeriksaan yang lebih mendetail yaitu dilakukan broncoscopy dan biopsy, tidak ada jalan lain kecuali dilakukan operasi pengangkatan paru kanan bagian atas yang telah terkena kanker.
Saat itulah aku mulai takut karena terus terang selama hidup aku belum pernah yang namanya sakit berkepanjangan apalagi operasi dan harus diopname. Aku mulai menghindar setiap kali kakakku menanyakan kapan siap dioperasi. Aku hanya menjawab besok, besok, dan besok, yang sebenarnya sih aku amat sangat ketakutan untuk operasi. Malahan aku sempat lari ke pengobatan alternatif. Ternyata tidak membuahkan hasil yang aku harapkan.
Aku lalu datang ke tempat praktek kakakku dan menanyakan akibatnya bila aku gak mau operasi (sewaktu aku ke pengobatan alternatif kakakku gak tau). Kakakku bilang kalau aku gak dioperasi akan terjadi pembengkakan di tubuh bagian kanan, mulai dari tangan kanan terus ke dada kanan. Nah kalau sudah terjadi pembengkakan maka tidak bisa dilakukan operasi, yang ada hanya bila sakit akan diberi obat anti sakit, bila sesak napas akan diberi obat sesak napas, dengan kata lain aku tinggal menghitung hari untuk mati. Di situlah aku makin ketakutan, menyerah serta pasrah untuk dioperasi.

penyakit demam berdarah dengue (DBD),

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada awal tahun 2004 kita dikejutkan kembali dengan merebaknya penyakit demam berdarah dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup banyak. Hal ini mengakibatkan sejumlah rumah sakit menjadi kewalahan dalam menerima pasien DBD. Untuk mengatasinya, pihak rumah sakit menambah tempat tidur di lorong-lorong rumah sakit serta merekrut tenaga medis dan paramedis. Merebaknya kembali kasus DBD ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Sebagian menganggap hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan dan sebagian lagi menganggap karena pemerintah lambat dalam mengantisipasi dan merespon kasus ini (Kristina,dkk., 2004:1).
Virus dengue sudah dikenal sejak akhir abad 18 sebagai penyebab epidemik di belahan dunia yang beriklim tropis dan subtropis. Dengue dikenali pertama kali di Townsville di akhir abad 19 dan awal abad 20 (Kelly,H, et al., 2009:74). Kasus penyakit ini pertama ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953. Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya.pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi kejadian luar biasa (KLB) setiap tahun. KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan case fatality rate (CFR) = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99% (tahun 2000); 21,66% (tahun 2001); 19,24% (tahun 2002) dan 23,87% (tahun 2003). Sejak Januari tahun 2004 sampai tanggal 5 Maret 2004 jumlah kasus DBD di seluruh provinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015 orang dengan jumlah kematian sudah mencapai sebanyak 389 orang (CFR = 1,53%). Kasus tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (11.534 orang) sedangkan CFR tertinggi terdapat di Provinsi NTT sebesar 3,96% (Kristina,dkk., 2004).
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun. Departemen Kesehatan RI telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan (Kristina,dkk., 2004:1).
Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai (Kristina, dkk., 2004:1).
Gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38°C - 40°C), manifestasi perdarahan, dengan bentuk uji tourniquet positif purpura, perdarahan konjungtiva (kelopak mata bagian dalam), epistaksis (mimisan), melena (buang air besar dengan feses berupa lendir bercampur darah). Bisa juga terjadi hepatomegali (pembesaran hati), syok, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah, trombositopenia (terjadi penurunan trombosit di bawah nilai normal), hemokonsentrasi, meningkatnya nilai hematokrit diatas 20% dari nilai normal. Gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai : anoreksia (penurunan nafsu makan), lemah, mual, muntah, sakit perut, diare, kejang, sakit kepala, perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi. Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan rasa sakit pada otot dan persendian. Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah (www.infopenyakit.com, 20/6/2009).
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada DBD meliputi pemeriksaan hematologi dan imunoserologi. Pemeriksaan hematologi merupakan sekelompok pemeriksaan laboratorium klinik yang terdiri dari beberapa macam pemeriksaan seperti kadar hemoglobin, hitung leukosit, eritrosit, trombosit, hematokrit, laju endap darah (LED), sediaan apus darah tepi, retikulosit dan pemeriksaan hemostasis. Pemeriksaan hitung sel darah terutama leukosit dan trombosit banyak diminta di klinik. Hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya kebutuhan akan data tersebut dalam upaya membantu membuat diagnosis. Pemeriksaan hematologi yang penting adalah hitung trombosit (trombositopenia) dan hematokrit (meningkat sampai 20%), disamping itu juga hitung leukosit (leukopenia). Tujuan pemeriksaan sediaan apus darah tepi antara lain menilai pelbagai unsur sel darah tepi seperti eritrosit, leukosit, trombosit dan mencari adanya limfosit plasma biru (Wirawan,R.,dkk., 1992:41).
Bagi kebanyakan orang jumlah trombosit yang turun drastis biasanya identik dengan DBD atau demam tifoid (tipus), padahal banyak penyakit lain yang juga menunjukkan gejala seperti ini, misalnya Chikungunya atau idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP). Karena gejalanya tidak jelas, dokter pun bisa terkecoh saat mendiagnosis. Jika pasien tidak mendapat penanganan cepat, rendahnya trombosit bisa sampai membahayakan jiwa. Pada pasien demam berdarah selain jumlah trombosit yang menurun, fungsi trombosit juga menurun. Trombosit terganggu baik secara jumlah maupun kualitas. Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit kurang dari 100.000/µL biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Penyebab turunnya trombosit, antara lain adanya trombosit yang rendah bukan berarti kita harus meningkatkan trombosit sesegera mungkin. Tiga hal yang diduga sebagai penyebab penurunan kadar trombosit di dalam darah yaitu penurunan produksi trombosit karena penekanan produksi di sumsum tulang, penggunaan trombosit yang berlebihan dan adanya antibodi anti trombosit dalam darah (Bakrie,S.,dkk, 1989:83).
Pada sediaan darah tepi sering dapat dijumpai peningkatan limfosit plasma biru, yang walaupun tidak spesifik untuk virus dengue tetapi bila jumlahnya meningkat mendukung diagnosis. Limfosit plasma biru atau plasmacytoid lymphocyte, mempunyai sitoplasma biru tua yang mungkin didapatkan pada infeksi virus seperti demam berdarah dengue, influenza, hepatitis dan infeksi virus sitomegalo (Wirawan,R.,dkk., 1992:41).
Penelitian tentang limfosit plasma biru masih jarang dipublikasikan, oleh karena itu diperlukan penelitian tentang korelasi antara trombositopenia dengan ditemukannya limfosit plasma biru dalam sediaan apus darah tepi pada penderita demam berdarah. Berdasarkan hal tersebut diatas, dengan semakin meningkatnya angka kejadian DBD, maka penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang korelasi trombositopenia dengan ditemukannya limfosit plasma biru dalam sediaan apus darah tepi pada penderita demam berdarah.

B. Identifikasi masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Masih tingginya angka kejadian penyakit DBD di Indonesia.
2. Banyak strategi yang telah digunakan untuk memberantas nyamuk penyebab DBD, akan tetapi sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.
3. Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya.
4. Diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi dan ketajaman pengamatan klinis.
5. Makin meningkatnya kebutuhan akan data pemeriksaan laboratorium dalam upaya membantu membuat diagnosis.

C. Pembatasan masalah
Penelitian ini dibatasi pada korelasi antara trombositopenia dengan ditemukannya limfosit plasma biru dalam sediaan apus darah tepi pada penderita demam berdarah.

D. Perumusan masalah
Bagaimanakah korelasi antara trombositopenia dengan ditemukannya limfosit plasma biru dalam sediaan apus darah tepi pada penderita demam berdarah?

E. Tujuan
Mengetahui korelasi antara trombositopenia dengan ditemukannya limfosit plasma biru dalam sediaan apus darah tepi pada penderita demam berdarah.

F. Manfaat
1. Hasil penelitian dapat berguna bagi para dokter untuk membantu diagnosa sehingga penderita dapat segera ditangani dan mencegah peningkatan angka kematian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan teori
1. Pengertian dan penyebab penyakit demam berdarah.
2. Gejala penyakit demam berdarah.
3. Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa penyakit demam berdarah.
3.1 Hematologi
a. Leukosit
b. Trombosit
c. Hematokrit
d. Rumpel leede
e. Sediaan apus darah tepi
• Limfosit plasma biru
3.2 Imunoserologi
Anti dengue IgG dan IgM





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan teori
1. Pengertian dan penyebab penyakit demam berdarah
Demam dengue adalah penyakit infeksi demam (febril) akut yang disebabkan oleh 4 serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4) dengan daya infeksi tinggi pada manusia. Virus tersebut termasuk dalam grup Arthropod borne viruses (Arboviruses). Virus dengue termasuk dalam golongan virus RNA famili flaviviridae dengan genus flavivirus. Virus dengue berdiameter 50 mm dan mempunyai envelop. Keempat serotipe virus adalah serupa, tetapi mempunyai sifat antigen yang berbeda sehingga apabila terinfeksi dengan salah satu serotipe hanya akan memberikan kekebalan seumur hidup untuk serotipe tersebut, tetapi tidak memberikan kekebalan silang (cross protective immunity) penuh untuk serotipe lainnya (Suroso, Chrishantoro,T., 2004:7). Berdasarkan serotipe virus dengue yang menginfeksi manusia maka infeksi virus dengue dapat dibagi 2, yaitu infeksi dengue primer dan infeksi dengue sekunder. Infeksi dengue primer banyak terjadi di Negara Australia, Eropa dan Amerika, dengan tingkat kefatalan yang rendah. Sedangkan infeksi dengue sekunder dengan serotipe virus dengue berbeda banyak terjadi di Asia Tenggara dan Amerika Selatan. Infeksi dengue sekunder lebih berbahaya dan dapat menimbulkan suatu kondisi seperti DBD atau renjatan (shock) dengue / DSS (Suroso, Chrishantoro., 2004:3). Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe 1 dan 3. Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam berdarah lain. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Brazil dan Ethiopia dan sering menggigit manusia pada waktu pagi dan siang. Orang yang beresiko terkena demam berdarah adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun dan sebagian besar tinggal di lingkungan lembap, serta daerah pinggiran kumuh. Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis dan muncul pada musim penghujan. Virus ini kemungkinan muncul akibat pengaruh musim / alam serta perilaku manusia (Kristina,dkk., 2004:2).


2. Gejala penyakit demam berdarah
Menurut World Health Organization (WHO) 1997 demam berdarah adalah penyakit infeksi virus akut yang disertai dengan gejala sakit kepala, perdarahan, bintik-bintik merah, trombositopenia dan leukopenia. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang sangat pendek atau beberapa hari (Margono, 2000:454). Gambaran klinis infeksi virus dengue sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, undifferentiated fever, demam dengue (DD), sampai DBD / DSS dengan masa inkubasi 4 - 6 hari (minimum 3, maksimum 14). Berdasarkan umur, penderita DBD atau DSS pada anak dapat dibagi menjadi 2 kelompok :
a. Kelompok > 1 tahun yang terinfeksi virus untuk kedua kalinya (infeksi sekunder) oleh serotipe virus yang berbeda dengan serotipe virus penyebab infeksi primer. Lebih dari 90% kasus DBD/DSS adalah kelompok umur ini.
b. Kelompok < 1 tahun (bayi) yang terinfeksi oleh virus dengue untuk pertama kalinya, pada kelompok ini dalam darah ibunya telah terdapat antibodi terhadap virus dengue (Suroso, Chrishantoro,T., 2004:12). Gambaran klinis demam dengue bervariasi, bergantung kepada umur pasien. Pada bayi dan anak kecil : Undifferentiated Febrile Disease dengan ruam makulopapular. Pada anak besar dan dewasa demam tinggi mendadak, sakit kepala, nyeri belakang mata, nyeri otot dan sendi, ruam serta dapat timbul perdarahan kulit (uji tourniquet positif). Biasanya ditemukan leukopenia dan trombositopenia. Pada keadaan ini jarang terjadi kasus yang fatal. Berikut skema tentang manifestasi klinis DBD : Infeksi virus dengue Simtomatik Asimtomatik Undifferentiated fever (viral syndrome) Sindrom demam dengue DBD DSS (perembesan plasma) Tanpa syok Dengan perdarahan yang tidak biasa Tanpa perdarahan Gambar 1. Manifestasi klinis demam berdarah (Sumber : Informasi Produk Panbio Dengue Fever Rapid Strip IgG & IgM) Penegakan diagnostik DBD kriteria WHO yaitu demam tinggi mendadak terus menerus 2 – 7 hari, manifestasi perdarahan (uji tourniquet positif), petekia, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena, hepatomegali, trombositopenia, hemokonsentrasi, nilai hematokrit masa akut ≥ 20%. Gambar 2. Petekia pada penderita DBD (Sumber : www.klikdokter.com/userfiles/dengu3.JPG) Sindrom DSS adalah seluruh gejala pada DBD dan setelah suhu menurun, sekitar 3 – 7 hari setelah onset, segera jatuh ke dalam syok, nadi lemah dan cepat, kulit dingin dan lembap, sianosis di sekitar mulut, hipotensi (≤ 20 mmHg), dan gelisah. Syok berlangsung singkat, pasien dapat meninggal dalam 12 – 24 jam (Suroso, Chrishantoro,T., 2004:13). 3. Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa penyakit DBD Banyak kejadian infeksi dengue di negara-negara barat tidak segera dapat dikenali, karena kasusnya langka serta kurangnya fasilitas laboratorium untuk mengkonfirmasi dugaan klinis. Pada umumnya diagnosa DBD sulit ditegakkan pada awal perjalanan penyakitnya, karena tanda dan gejalanya yang tidak spesifik, sehingga seringkali sulit dibedakan dengan penyakit infeksi virus influenza, campak atau demam tifoid. Case Fatality Rate (CFR) dapat diturunkan secara seksama apabila pasien dengan DBD / DSS dapat didiagnosa secara dini dan mendapatkan penatalaksanaan klinis dengan baik (Suroso, Chrishantoro,T., 2004:18). Tantangan / problem diagnostik infeksi dengue antara lain gejala yang tidak jelas pada awal perjalanan penyakit, terutama penderita infeksi primer, kemungkinan ko–sirkulasi antara virus dengue dengan flavivirus lain (Japanese encephalitis, Hanta, Chikungunya, Yellow fever, dll), rentang waktu yang pendek antar gejala DD / DBD menjadi DSS hingga kematian, hasil tes laboratorium metode konvensional memerlukan waktu beberapa hari sampai beberapa minggu, prosedur pengujian laboratorium rumit, dan adanya variasi hasil antar laboratorium (Suroso, Chrishantoro,T., 2004:19). Menurut WHO, secara klinis diagnosis ditegakkan jika ditemukan dua kriteria klinik, yaitu trombositopenia (penurunan kadar trombosit) dan ada hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit sebanyak 20% atau lebih (Margono, 2000:454). Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada DBD meliputi pemeriksaan hematologi dan imunoserologi. a. Pemeriksaan hematologi Pemeriksaan hematologi yang penting adalah hitung trombosit, leukosit dan hematokrit. Pemeriksaan hitung sel darah terutama leukosit dan trombosit banyak diminta di klinik. Hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya kebutuhan akan data tersebut dalam upaya membantu membuat diagnosis. Dengan meningkatnya permintaan pemeriksaan hitung sel cara manual tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu dibuatlah alat hitung sel otomatis. Dengan alat hitung sel otomatis maka penghitungan sel menjadi lebih mudah, cepat dan teliti dibandingkan dengan cara manual. Walaupun demikian hitung sel darah cara manual masih merupakan metode rujukan (Wirawan,R.,dkk., 1996:12). Disamping itu pemeriksaan rumpell leede atau tourniquet tes untuk menguji ketahanan dinding kapiler darah. Tekanan darah dalam kapiler ditingkatkan dengan cara melakukan pembendungan pada vena. Bila dinding kapiler kurang kuat maka darah merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga tampak titik merah kecil pada permukaan kulit yang disebut petekia (Bakri,S.,dkk, 1989:161). Darah dalam tubuh kita terdiri dari plasma darah, eritrosit, leukosit, trombosit dan hemoglobin. Trombosit adalah keping-keping darah. Ukurannya lebih kecil kalau dibandingkan dengan leukosit dan eritrosit. Trombosit tidak berinti, bentuknya kecil dan tidak teratur. Trombosit dibuat di dalam sumsum tulang yang berasal dari sel raksasa yang dinamakan megakariosit. Dalam pematangannya, megakariosit pecah menjadi 3.000 – 4.000 serpihan sel yang dinamakan trombosit. Jumlah trombosit dalam satu millimeter kubik / 1 mm³ darah ± 200 ribu sampai 400 ribu sel trombosit. Umur trombosit 8 – 10 hari. Trombosit penting sekali untuk pembekuan darah dan retraksi bekuan, sebagai sumber pembentukan protrombin dan sebagian dari pembekuan thromboplastin, melindungi dinding-dinding pembuluh darah bagian dalam, menjaga daya tahan kapiler, kontraksi kapiler dan sebagainya. Bilamana trombosit kurang dari 40.000/µL darah, menyebabkan adanya perdarahan–perdarahan pada pembuluh–pembuluh kapiler, pada selaput lendir dan dalam kulit. Sifat – sifat trombosit yang perlu diketahui yaitu besarnya 2 – 4 µ berbentuk bulat, oval, seperti pemukul tenis dan sering berkelompok. Di dalam darah tidak merata, mudah menggumpal dan rusak (Bakri,S.,dkk., 1989:155). Disamping itu penting juga untuk dilakukan pengamatan pada sediaan apus darah tepi untuk mencari adanya limfosit plasma biru yang walaupun tidak spesifik untuk virus dengue tetapi bila jumlahnya meningkat mendukung diagnosis. Limfosit tidak hanya dibentuk di dalam bone marrow, juga dibentuk di kelenjar getah bening, limpa dan timus. Terdapat di dalam sirkulasi darah dan lymphe. Terdapat dua bentuk yaitu limfosit kecil dan limfosit besar. Limfosit kecil kemungkinan berasal dari limfosit besar. Limfosit penting peranannya dalam proses immunity (Bakri,S.,dkk., 1989:81). Limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Limfosit merupakan sel–sel leukosit kedua terbanyak setelah neutrofil. Diantara semua jenis sel darah putih yang tidak bisa bergerak adalah limfosit yang berfungsi untuk kekebalan tubuh atau imunitas, zat asing, sel kanker dan virus, sedangkan jenis yang lainnya bersifat fagositosis. Kadar limfosit sekitar 20% - 30% dari jumlah lekosit. Umur limfosit bervariasi, ada yang berumur hanya beberapa hari dan ada yang bertahun–tahun. Morfologi limfosit yaitu limfosit kecil berukuran 8 – 10 µm, berbentuk bulat, berinti kira–kira sebesar ukuran eritrosit normal, inti limfosit mengisi sebagian besar dari ukuran sel dengan kromatin yang padat bergumpal berwarna biru sampai ungu tua, dan sitoplasmanya tidak mengandung granula. Limfosit besar berukuran 12 – 16 µm, berbentuk bulat atau agak tak beraturan, berinti oval atau bulat, terletak di tepi sel. Sitoplasmanya relatif lebih banyak dibanding limfosit kecil, berwarna biru muda dan dapat mengandung granula azurofil yang berwarna merah (Wirawan,R.,dkk., 1996:34). Morfologi dari limfosit plasma biru terlihat pada gambar berikut ini : Gambar 3. Limfosit plasma biru (perbesaran 40x) (Sumber:path.upmc.edu/cases/case243/images/image01.jpg) Sutaryo (1991) mengatakan cara mudah mendeteksi seseorang menderita penyakit DBD atau tidak, yakni dengan melihat perubahan darah. Jika dalam hitung jenis seseorang ditemukan adanya limfosit plasma biru sebanyak 4%, berarti sudah merupakan indikasi menderita DBD. Namun sampai saat ini pun pemeriksaan limfosit plasma biru masih belum banyak dilakukan karena informasi manfaat hasil limfosit plasma biru terhadap penderita DBD di kalangan klinisi ataupun teknisi laboratorium masih sangat kurang. Selain itu juga masih belum jelas kaitan limfosit plasma biru dengan jenis infeksi DBD. Karena spektrum klinis penyakit DBD sangat luas maka amat dibutuhkan adanya diagnosa laboratorium yang dapat memberikan konfirmasi secara cepat sehingga diagnosa dini dapat segera ditegakkan. Cara diagnosa tersebut harus sederhana, cepat, murah disamping juga harus sensitif dan spesifik. Sampai saat ini belum ada tes laboratorium yang dapat memenuhi syarat di atas. Tes yang ada membutuhkan waktu lama dan dengan biaya yang cukup mahal sehingga tidak terjangkau masyarakat banyak. Dilaporkan bahwa adanya hasil tes limfosit plasma biru untuk diagnosis DBD yang dianggap murah, cepat dan sederhana dengan sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi yaitu 70 – 80% dan 85% pada hari ke 5 – 6 sakit (Wuryadi,S., 1993). Pada DBD dapat terjadi leukopenia dimana jumlah granulosit menurun pada hari ke-3 sampai ke-8. Gatot D (1999) juga menyatakan ditemukannya cukup banyak (20 – 50%) limfosit bertransformasi atau atipik dalam sediaan apus darah tepi penderita DBD terutama pada infeksi sekunder. Limfosit atipik ini merupakan sel berinti satu (mononuklear) dengan struktur kromatin halus dan agak padat, serta sitoplasma yang relatif lebar dan berwarna biru tua. Oleh karenanya sel ini juga dikenal sebagai limfosit plasma biru. b. Pemeriksaan imunoserologi Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Menentukan diagnosis infeksi virus dengue secara dini sangatlah penting, terutama jenis infeksinya (infeksi primer atau infeksi sekunder). Diagnosis serologis infeksi virus dengue yang sampai saat ini masih merupakan referensi WHO adalah uji hambatan hemaglutinasi, cukup sensitif tetapi tidak spesifik, namun diperlukan serum ganda. Dengue Rapid Tes merupakan uji serologis yang menggunakan metode imunokromatografi berbentuk strip, mendeteksi IgG dan IgM anti dengue dalam waktu yang cepat (Suroso, Chrishantoro,T., 2004:35). Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5 – 7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect). Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60 – 90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit ke-5, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat (Suroso, Chrishantoro,T., 2004:11). B. Kerangka berpikir Gejala demam berdarah Demam berdarah Uji laboratorium DSS (Dengue Shock Syndrome) Hematologi Serologi Leukosit Hematokrit Kematian Anti dengue IgG & IgM Trombosit Rumpel leede Sediaan apus darah tepi Limfosit plasma biru BAB III METODOLOGI A. Definisi operasional variabel penelitian 1. Yang dimaksud dengan trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit sampai dengan di bawah 150.000/µL darah yang diperiksa di laboratorium klinik Prodia Bogor dengan metode automatic analyzer cell counter alat Sysmex XT 1800i dan dinyatakan dengan satuan 10^3/µL dengan nilai normal 150.000 – 440.000/µL. 2. Yang dimaksud dengan limfosit plasma biru adalah limfosit yang mempunyai sitoplasma biru tua yang didapatkan pada pengamatan sediaan apus darah tepi yang diberi pewarnaan Wright – Giemza pada pasien dengan trombositopenia. 3. Yang dimaksud penderita DHF adalah pasien yang periksa anti dengue IgG dan IgM di laboratorium klinik Prodia Bogor dengan hasil anti dengue IgM positif (+) atau anti dengue IgG positif (+) atau dengan hasil kedua - duanya positif (+). B. Tempat dan waktu penelitian Tempat penelitian : Laboratorium klinik Prodia Bogor Waktu penelitian : Penelitian ini dilakukan mulai bulan Oktober - November 2009. C. Populasi dan sampel Populasi : Pasien DBD Sampel : Penderita DBD di laboratorium klinik Prodia Bogor periode Januari – Juni 2009 D. Teknik pengumpulan data 1. Melakukan pembuatan surat ijin pengambilan data laboratorium ke Kepala Cabang laboratorium klinik Prodia Bogor. 2. Melakukan pemilihan pasien yang hasil pemeriksaan anti dengue IgG positif (+) atau anti dengue IgM positif (+), atau yang kedua – duanya positif (+). 3. Mencatat hasil jumlah trombosit dari penderita DBD. 4. Melihat hasil pengamatan sediaan apus darah tepi untuk mengetahui ada atau tidaknya limfosit plasma biru. 5. Data yang didapat disajikan dalam bentuk tabel dengan format sebagai berikut : No No Lab Jenis Kelamin Umur (tahun) Jumlah trombosit/µL Limfosit plasma biru (LPB) 6. Data yang didapat dianalisisis dengan uji statistik. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Pasien DBD di laboratorium klinik Prodia Bogor adalah penderita DBD yang teridentifikasi periode 6 bulan yaitu dari bulan Januari – Juni 2009 yang berjumlah 70 orang dengan usia 2-71 tahun. Distribusi jenis kelamin dari penderita DBD tersebut terdiri dari pria sebanyak 37 orang (52.86%) dan wanita sebanyak 33 orang (47.14%). 2. Penderita DBD mempunyai jumlah trombosit antara 20.000 s/d 500.000/µL dengan rata-rata 190.000/µL. Penderita DBD yang mengalami trombositopenia sebanyak 22 orang (30.14%). 3. Berdasarkan pengamatan sediaan apus darah tepi, penderita DBD yang ditemukan limfosit plasma biru sebanyak 8 orang (11.43%), sedang 62 orang (88.57%) tidak ditemukan limfosit plasma biru. Pada penderita DBD dengan trombositopenia ditemukan limfosit plasma biru sebanyak 5 orang (22.73%). Trombositopenia Jumlah (+) (-) Limfosit plasma (+) 5 3 8 biru (-) 17 45 62 Jumlah 22 48 70 4. Untuk mengetahui korelasi antara jumlah trombosit dengan ditemukannya limfosit plasma biru maka dilakukan uji statistik yaitu uji Chi–Square. Hasil yang diperoleh adalah p-value = 0.888, Angka p-value > 0.05 sehingga dapat dinyatakan tidak ada korelasi yang signifikan antara trombositopenia dengan ditemukannya limfosit plasma biru pada penderita DBD.

B. Pembahasan
Demam dengue adalah penyakit infeksi demam (febril) akut yang disebabkan oleh 4 serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4) dengan daya infeksi tinggi pada manusia. Menurut WHO, secara klinis diagnosis ditegakkan jika ditemukan dua kriteria klinik, yaitu trombositopenia (penurunan jumlah trombosit) dan ada hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit sebanyak 20% atau lebih. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada DBD meliputi pemeriksaan hematologi dan imunoserologi. Dengue Rapid Tes merupakan uji serologis yang menggunakan metode imunokromatografi berbentuk strip, mendeteksi IgG dan IgM anti dengue dalam waktu yang cepat (Suroso, Chrishantoro,T., 2004:35). Sutaryo (1991) mengatakan cara mudah mendeteksi seseorang menderita penyakit DBD atau tidak, yakni dengan melihat perubahan darah. Jika dalam hitung jenis seseorang ditemukan adanya limfosit plasma biru sebanyak 4%, berarti sudah merupakan indikasi menderita DBD. Limfosit plasma biru merupakan sel berinti satu (mononuklear) dengan struktur kromatin halus dan agak padat, serta sitoplasma yang relatif lebar dan berwarna biru tua.
Dari penelitian di atas menunjukkan 30.14% sampel mengalami trombositopenia, Bagi kebanyakan orang jumlah trombosit yang turun drastis biasanya identik dengan DBD atau demam tifoid (tipus), padahal banyak penyakit lain yang juga menunjukkan gejala seperti ini, misalnya Chikungunya atau idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP). Karena gejalanya tidak jelas, dokter pun bisa terkecoh saat mendiagnosis. Jika pasien tidak mendapat penanganan cepat, rendahnya trombosit bisa sampai membahayakan jiwa. Pada pasien demam berdarah selain jumlah trombosit yang menurun, fungsi trombosit juga menurun. Trombosit terganggu baik secara jumlah maupun kualitas. Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit kurang dari 100.000/µL biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Penyebab turunnya trombosit, antara lain adanya trombosit yang rendah bukan berarti kita harus meningkatkan trombosit sesegera mungkin. Tiga hal yang diduga sebagai penyebab penurunan kadar trombosit di dalam darah yaitu penurunan produksi trombosit karena penekanan produksi di sumsum tulang, penggunaan trombosit yang berlebihan dan adanya antibodi anti trombosit dalam darah (Bakrie,S.,dkk, 1989:83).
Pada sediaan darah tepi sering dapat dijumpai peningkatan limfosit plasma biru, yang walaupun tidak spesifik untuk virus dengue tetapi bila jumlahnya meningkat mendukung diagnosis. Limfosit plasma biru atau plasmacytoid lymphocyte, mempunyai sitoplasma biru tua yang mungkin didapatkan pada infeksi virus seperti demam berdarah dengue, influenza, hepatitis dan infeksi virus sitomegalo (Wirawan,R.,dkk., 1992:41). Sebanyak 22.73% penderita trombositopenia ditemukan limfosit plasma biru yang positif namun setelah dilakukan uji statistik Chi-Square tidak terdapat korelasi yang signifikan antara trombositopenia dengan ditemukannya limfosit plasma biru pada penderita DBD. Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Untuk kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai penjamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan penjamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Perubahan imunologik pada DHF terdiri atas perubahan imunologik humoral dan seluler. Perubahan humoral dapat dibuktikan dengan terbentuknya antibodi IgG yang dipakai sebagai dasar uji hemaglutinasi inhibition (HI) dan Dengue Blot, dan IgM yang pada umumnya dideteksi dengan IgM Elisa Capture. Selain komplek imun IgG dan IgM juga ada komplek imun IgA dan IgE. Perubahan imunologik seluler adalah terjadinya leukopenia pada fase akut disertai aneosinofili, kenaikan monosit dan basofil. Limfosit T menurun dan limfosit B meningkat pada fase akut. Secara hematologis di darah tepi dengan pengecatan May Grunwald, Giemsa atau Wright muncul satu tipe khas sel limfosit atipik yang disebut limfosit plasma biru (LPB). LPB berbentuk bulat tetapi adakalanya amoeboid. Sitoplasma biru tua sampai gelap dengan vakuolisasi. Vakuolisasi dapat halus sampai sangat nyata menyerupai sel lemak. Inti umumnya berbentuk bulat, oval, atau seperti ginjal, dengan kromatin renggang, kadang tampak ada nucleoli, terletak eksentris. Di tepi nuclei ada perinuklear yang jernih, kadang-kadang terdapat gambaran dalam berbagai tingkat mitosis. Sebetulnya perubahan pada limfosit tersebut sudah diamati lama.Pada awal penyakit dengue proporsi limfosit kecil meningkat, lalu diikuti limfosit besar yang dominan.Setelah itu muncul mononuklear yang besar dan transisional cells. Karena bentuk LPB menyerupai plasma sel, dan pada saat itu muncul kenaikan immunoglobulin dan kenaikan limfosit B, maka diduga LPB adalah termasuk populasi limfosit B. Hasil imunoperoksidase dengan menggunakan monoclonal antibody CD4, CD7, CD8, CD22, Ia dan DR didapatkan LPB tersebut merupakan campuran dari limfosit T dan limfosit B dengan perbandingan 1:1, sedang perbandingan T helper dan T supresor 2:3. Pada kasus-kasus yang berat jumlah T supresor terdapat kecenderungan lebih meningkat (www.kalbe.co.id, 15/12/2009).




















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan data-data penelitian diatas maka dapat ditarik kesimpulan
1 Pada penderita DBD dengan trombositopenia didapatkan 22.73% positif limfosit plasma biru
2 Korelasi trombositopenia pada penderita DBD dengan ditemukannya limfosit plasma biru pada sediaan apus darah tepi tidak signifikan.
B. Saran
1. Penderita DBD harus segera mendapatkan penanganan yang cepat untuk mencegah terjadinya DSS.
2. Pemeriksaan laboratorium sangat disarankan untuk diagnosa dan monitoring DBD.






DAFTAR PUSTAKA
Bakri, S, Kalma, Ranggani, R., dan Asnawi, A., Hematologi, Cetakan 1, Jakarta, 1989.
Kelly,H., Bennet, N., Murray, S., O’Grady., A.K., 73 Penyakit yang Penting Diketahui, Yudi Santoso (Ed), Cetakan I, PALLMALL, Yogyakarta, 2009.
Kristina, Isminah, Wulandari,L., Kajian Masalah Kesehatan Demam Berdarah Dengue, hlm 1-4, 2004.
Margono, S., Parasitologi Kedokteran, Gaya Baru, Jakarta 2000.

Sutaryo, Limfosit Plasma Biru (Arti Diagnostik dan Sifat Imunologik pada Infeksi Dengue, disertasi sarjana, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1991.

Sutaryo Patogenesis dan Patofisiologi Demam Berdarah Dengue, Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1992. (www.kalbe.co.id, 15/12/2009)

Suroso, dan Chrishantoro, T., Informasi Produk Panbio Dengue Fever Rapid Strip IgG & IgM, Edisi ke-2, PT Pacific Biotekindo Intralab, Jakarta, 2004.

Wirawan, R., dkk., Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Sederhana, Edisi kedua, Balai Penerbitan FKUI, Jakarta, 1996.

Wuryadi, S., Uji Coba Test Limfosit Plasma Biru untuk Diagnosa Cepat Penyakit Demam Berdarah Dengue, 1993. (www.litbang.depkes.go.id, 25/11/2009)

www.litbang.depkes.go.id, 20/6/2009, Demam Berdarah.
www.infopenyakit.com, 20/6/2009, Penyakit Demam Berdarah Dengue.